Tuesday, January 29, 2013

BUKAN TENTANG GEMBIRA



Kadang-kadang kita tak sedar, banyak hak hak yang belum kita tunaikan. Dalam berukhwuah, bukan semuanya tentang gembira Dalam system tarbiyah permulaanya kita larut berukhuwah. Sibuk menghayun tangan, berjalan seiringan, makan berdulangan dengan teman seangkatan. Bersama bila gembira.

Kebersamaan seakan lenyap di pertengahan jalan. Kerana di sini, banyak simpang yang kita harus tempuh. Dan tiada satu simpang pun yang sepatutnya menjejaskan hala tuju kita. Namun di saat ini akan ada yang tertipu lalu mengambil keputusan untuk belok ke kiri dan ke kanan.

Bila tiba masa ini, yang indah tadi bertukar pahit, masin, tawar dan pelbagai rasa yang tidak menyenangkan lagi. Bila tiba waktu ini, kita mula rasa kering. Mula hilang kamus yang benar-benar mampu mendefinasikan ukhuwah. Apatah lagi di tambah fillah pada hujungnya. Apa itu?

Awalnya memang menyeronokkan,
Pertengahannya menyakitkan kekadang.
Semakin kita kenal, semakin jauh pula
Dan orang kata di akhirnya ada bahagia. Mungkin.

Dalam berukhuwah, bukan semuanya tentang gembira. Ada masa yang menyakitkan. Masa masa inilah kebenaran dasar ukhuwah teruji. Dalam naungan apakah.
Kebenaran itu mesti ditegakkan walau pahit. Kadang kerana ukhuwah, kebenaran diketepikan. Kita 
tak sedar, ada satu garisan pemisah yang sangat halus yang mebezakan frasa membiarkan dan memberi ruang. Bila ada masalah dalam kalangan mereka yang berukuhwah, manisnya bertukar tawar.

Atas alasan memeri ruang kepada mereka yang mempunyai permasalahan, kita sebenarnya membiarkan mereka terkapai-kapai. Ukhuwah seperti ini sebenarnya mencemarkan terminalogi ukuhwah itu sendiri.

Orang-orang yang membiarkan mereka yang sedang berada dalam keretakan ini sebenarnya telah mencuri hak-hak dalam ukhuwah. Sedar tak sedar, kita sudah lama menjadi pencuri, dalam berukhuwah. Bila masa rakan kita ditimpa masalah kita biarkan mereka. Kita berhujah dengan alasan memberi mereka ruang dan peluang. Tanpa sadar sebenarnya di saat itulah peranan kita teramat dibutuhkan.

Saya sudah jemu.

Dibiarkan.

Dan paling jemu membiarkan.
Terbakar.

Ukhuwah itu sebenarnya satu syariat. Mereka yang berukhuwah atas dasar iman, berukhuwah kerana memahami firman ukhuwah sang Pencipta sebenarnya sedang menyahut seruan ibadah yang tak ramai mampu melihat maksud ayat ukhwah. Mu’min itu bersaudara. Ah. Sering saja didengari.

Tapi masih, ukuhwah pada mata kita yang gembira.

Ukhuwah,
Bukan semuanya tentang gembira.


-------


Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah s.a.w bersabda, "Muslim yang satu adalah bersaudara dengan muslim yang lain, oleh kerana itu, dia tidak boleh mengkhianati, mendustakan dan membiarkannya.

Setiap muslim yang satu terhadap muslim yang lain haram mengganggu kehormatannya, hartanya dan darahnya, takwa itu ada di sini (Baginda menunjukkan dadanya) seseorang itu cukup jahat jika dia menghina saudaranya sesama muslim"

Riwayat Tirmizi


--------


Hari ini saya melihat dengan mata sendiri ramai yang kecewa. Ramai yang sudah belok ke kiri dan kanan. Tidak kurang jugak yang serta merta turun dari bahtera ini dan memilih untuk karam di tengah lautan kerana kecewa.

Kekecewaan ini semuanya bermula dengan harapan. Mereka mengharapkan sesuatu daripada ukhuwah yang pada permulaanya dibina atas dasar iman namun di saat memerlukan mereka keliru. Apakah benar iman yang mendasari ukhuwah tadi. Terlalu ramai mangsa harapan ini dibiarkan dalam kekecewaan.


Salah siapa?

Entah.

Saya sendiri belum cukup ilmu untuk menyalahkan sesiapa. Kerana saya masih kurang jelas, bagaimanakah rupa dan hakikat amal orang yang berukhuwah atas dasar iman yang sebenar. Apabila dikatakan iman itu ada turun dan naik, apakah ukhwuah juga ada waktu waktu retaknya?

Entah.

Yang pasti, bukan semuanya tentang gembira.

Apabila dikatakan berkuhwuah itu semanis nangka madu, saya ragui itu, apakah ia pengharapan palsu? 
Yang akhirnya adalah kekecewaan?

Saturday, January 26, 2013

DAKWAH DUSTA!



Kisah cinta yang dikutip oleh Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan

Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantik. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga ke negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung dengan jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman syurga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh anehnya kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya. Hanya kerana kabar. Hanya kerana kabar cinta itu mekar, kabar bahwa pemuda itu bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaknya suci. Bahwa ilmunya tinggi bahkan namanya kerap muncul dalam doa para ibu yang merindukan menantu.

Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Sang gadis telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawaban, “Ya” katanya.

Akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang disepakati. Berdua sahaja. Awal-awal tak ada kata-kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh  menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Si gadis dapati apa yang dibayangnya tidak sebanding aslinya. Lalu diberanikannya bicara.

“Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, “Yang telah menganugerahkan engkau wajah yang begitu tampan”

Sang pemuda tersenyum.

Ia menundukkan wajahnya. “Andai saja kau lihat aku”, katanya, “Sesudah tiga hari dikuburkan, ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarangdi mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tetripu olehnya.”


“Betapa inginya aku”, kata si gadis, “ Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. “Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka, yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling bersentuhan dan kelak hanya menjadi penyesalan yang tidak berkesudahan.”

Si gadis tertunduk. “Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, “Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup, agar berkurang beban-beban, agar Allah menghapuskan kesempitan dan kesusahan”

“Janganlah lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. “Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka ynag bertakawa”


-----------------


Cukup sampai sini sang kisah.
Sarat dengan ibrah buat para duat.
Terperangkap.

Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah. Tapi, dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan perlanggaran syariat. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa sang pemuda telah meniup nafas dakwah dalam atmosfera yang ternoda.

Dan si gadis kelihatannya sama sekali tidak mengendahkan kalimat dakwah yang dibawa. Dia makin berani menimbulkan syahwat dalam hati.
Kesalahan ini bermula dari awal, bahwa mereka berkhalwat.  
Ya berkhalwat.

Pada mata kasar nampak pemuda itu membawa dakwah, tapi tidak. Ini, dakwah dusta. Dalam hari hari kita melaksanakan tugas menyampaikan shahadah kepada orang disekeliling kita, sering sekali kita terlepas pandang hal ini. Bahwa kebenaran dan kebathilan tidak langsung mungkin boleh disatukan.

Yang putih tetap putih dan yang hitam tetap hitam.

Mari kita berhati-hati.


------

Dipetik dan disunting
dari buku Jalan Cinta Para Pejuang

Thursday, January 24, 2013

YANG TERTEWAS

Ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya
Berat atau ringannya, bahagia atau deritanya
Senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya

Ridha Allah terletak pada
Apakah kita mentaatiNya dalam menghadapi semua itu
Apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya
Dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan

Maka selama di situ engkau berjalan
Bersemangatlah kawan!

-Dalam Dekapan Ukhuwah
-Salim A. Fillah


----------------------------------------------


Ujian.

Terus terang saya katakan, ucapan “bersabarlah” kepada mereka yang mengharungi ujian hidup bukanlah suatu tindakan yang bijak. Kehidupan seseorang yang bercita-cita mengembalikan kemulian Islam, tidak akan pernah kering dengan lautan ujian. Di saat kita berasa, ah mudahnya hidup aku, sungguh ringan dan lancar, maka ketahuilah di saat itulah kita diuji. Sebenarnya.

Sulit, mudah, redhanya.

Hari ini saya mengenalpasti, beberapa jenis golongan orang yang berhadapan dengan ujian di jalan Allah ini, jalan yang sumpah panjang, jalan yang tidak terlihat di mana titik noktahnya. Ada orang yang tertewas dengan ujian manusia, tapi mereka menang di sisi Allah. Saya mengenali ramai sahabat perjuangan dalam kalangan ini.

Saya kagum.
Dan cemburu.

Tika mana mata dunia memandang mereka dengan penuh kerendahan, insan-insan ini bangkit dari lubang kecil itu, mengukir senyuman penuh kesyukuran. Di saat pertama tamparan yang tampak berat menginjak hidup mereka, mereka tunduk penuh ketaatan. Di situ, ada sabar. Di saat pertama, itulah sabar. Mereka ni menerima walau pahit untuk ditelan pada zahirnya.

Keakraban dengan Sang Pencipta kian mekar di saat duri duri dunia menusuk ke dalam daging mereka. Di saat suara-suara sumbang bercakap-cakap mengerdilkan mereka, sungguh ajaib semangat itu menjulang lebih tinggi bahkan mampu menyentuh langit. Tika mana dunia membaling batu, mereka hulurkan bunga dan haruman. Saya kagum. Masih wujud manusia sedemikian. Nikmat, di jalan ini.

Ada orang kandas dengan cabaran dunia dan malangnya turut kalah mengharung ujian Allah. Pada reaksi pertama, di situ mereka tertewas. Saya, sejujurnya sering sekali di situ. Jatuh dan terus terperangkap dalam lubang gelap itu. Sering kali tertanya, masih ada kah bahagian untuk diriku yang acap kali sukar menerima hakikat.

Kerana apa? Sering sekali bekerja untuk memuaskan hati manusia. Beramal supaya mulia dipandang dunia. Ego yang meninggi tidak pernah mahu menerima hakikat berada di bawah. Sering sahaja.
Ada orang yang menang di saat keduanya terjadi.

Nikmat yang ditaburi dalam hidup mereka disyukuri dengan sujud sedalam-dalamnya tika siang pergi. Masih adakah bahagian untuk aku jadi seperti mereka.

Ada orang

Tika mana kita berhadapan dengan ujian di alam buana ini,

Pada hakikat mata memandang mereka menang, tapi pada reaksi mereka tertampil kekalahan yang hakiki. Dunia merabuni mereka. Sebaik sahaja pintu itu dibuka, langsung tidak terlihat tangan yang menghulurkan segalanya. Saya takut. Sering juga saya menunggu dan mengintai di pintu itu. Menanti dengan penuh keraguan.

Sukar benar untuk menjelaskannya.

Di saat sudah bangkit dari rebah, boleh sahaja aku nukil kata-kata semangat. Boleh sahaja aku titip puisi buat penyembuh luka, tapi apakah andai lubang sama datang dihadapan, aku akan masuk untuk sekelian kalinya?  

Besar benar mungkinnya.

Di saat kalah, apakah yang aku tangisi itu wajar?
Di saat aku menang, apakah kegembiraan itu syukur?

Monday, January 21, 2013

TRY AND ERROR


Teringat masa menjawab soalan Matematik kertas satu PMR dahulu. Ada soalan yang pattern try and error. Dalam soalan diberi satu angka. Kemudian kita disuruh untuk menyelesaikan persamaan-persamaan dalam pilihan jawapan, sama ada A,B,C atau D. Mana-mana hasil persamaan sama dengan angka yang diberi dalam soalan, maka itulah jawapan yang dicari.
Kita cuba, salah cuba lagi. 

Try and error.

Ada orang cuba mulai dengan A kemudian takdir jawapan ada pada A maka untunglah, jimat masa. Boleh proceed ke soalan yang seterusnya. Ada orang mulai A, kemudan B dan C tak dapat-dapat juga. Secara automatic jawapan ada pada D.

Ada juga orang, dah kira ketiga-tiga pilihan yang pertama, masih tak dapat. Sepatutnya dia yakin jawapan ada pada persamaan ke empat. Namun ragu-ragu, so dikira juga persamaan ke empat. Rupa-rupanya persamaan ke empat bukan jawapan. Macam mana tu? Dalam hal ini sama ada soalan salah atau kita silap kira. Kebiasaanya kita silap kira, careless mistake.

Kadang-kadang makan masa.

Buat dakwah pun macam tu. Cuba dan cuba. Dakwah tak menjadi, kita cuba lagi. Bila mana kita ingin mula mentarbiyah mad’u kita, ibaratnya kita ingin bagi hadiah pada mereka. Sebelum itu, kita mesti kenal mereka, hati budi, suka makan apa, hobi apa dan minat apa. Semua ini berlaku dalam proses mu’ayasyah. Proses ini boleh makan masa sekejap, boleh makan masa yang lama. 

 
Kemudian kita fikir, bagaimana nak bagi hadiah yang sesuai. Kadang-kadang hadiah yang kita bagi tu tak sesuai walaupun kita cuba sehabis baik. Maka mulalah dakwah ditolak. Hal ini banyak berlaku. Bila dakwah ditolak, kita pula merajuk dan mengeluh. Kenapa? Kerana kita beriman bahawa kejayaan satu usaha dakwah itu terletak pada hasilnya.

Da’ie sekarang ada mentality macam ni. Nak cepat dapat hasil. Menilai pada hasil. Kita nak tanam padi pagi ini dan menuai pada malamnya. Mana mungkin. Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada hasil dakwah, tapi melihat kepada usaha yang kita lakukan. Itu yang lebih penting.

Namun tidak dinafikan, perasaan yang paling seronok apabila mad’u menyahut seruan dakwah kita. Itulah hadiah yang menghiburkan hati. Tapi yakinlah keberhasilan itu adalah bonus daripada Allah S.W.T kepada kita, sebagai penyejuk badan setelah kita puas berikhtiar. Apa yang penting, usaha yang kita jalankan.

Ada juga ketika di mana kita puas try. Kita try dan try tapi asyik error. Sampai satu tahap, kita merasakan kita bukan ornag yang sepatutnya berada di jalan ini. Kita merasakan kita tidak layak dan tidak mampu menggalas tanggungjawab ini. Bila berhadapan dengan kepelbagaian kerenah mad’u, kita rasa muram dan semangat mula merudum.

Dalam kes ni para du’at perlu melihat ke hadapan dan memandang ujian ini dari sudut positif. Mungkin kita bila berhadapan dengan mad’u yang serius kita mampu tawan mereka. Kita mungkin mampu tawan mad’u yang aktif bersukan, mad’u yang suka belajar mungkin. Ini kerana banyak persamaan yang kita kongsi dengan mereka. Tapi bila dihadirkan oleh Allah dengan mad’u yang panas baran kita mula goyah melakukan kerja dakwah. Yakinlah sebenarnya Allah sedang mendidik kita berhadapan dengan mereka ini. Allah sedang memenuhi lompang lompang kosong dalam kemahiran kita berhadapan dengan kepelbagaian kerenah para mad’u.

Usaha dakwah itu penuh dengan percubaan. Lama-kelamaan kita akan masak dengan selok beloknya. Waktu itu, error kita mangkin berkurang. Sesungguhnya pengalaman mengajar kita banyak perkara. Dalam dakwah kita bakal berguru dengan pengalaman. Sama ada pengalaman sendiri atau pengalaman orang yang lebih dahulu atas jalan ini. Tapi hakikatnya pengalaman sendiri lebih berbisa dan berharga.

Pengalaman ini hanya boleh didapati melalui percubaan demi percubaan.

Maka teruskan mencuba. Try, again and again.

Lupakan error itu.

Bukankah dakwah ini satu perjuangan? Apabila kita sebut perjuangan, maka selagi mana perjuangan belum tamat, selagi itu kita tidak boleh melihat atau membuat kesimpulan sama ada ia berjaya atau gagal. Kita akan terus berjuang sehingga wisel penamat. Dan yakinlah, perjuangan atas jalan ini sebenarnya perjuangan yang menjanjikan kemenangan.


Ayuh!